Tulisan Pak Rhenald selalu bagus dan bernas. :) That's why we must read it!
Selasa, 22 Maret 2016 | 05:40
Oleh: Rhenald Kasali
Karena sharing, maka menjadi murah. Selamat datang anak-anak muda pembaharu!
Mereka memang berbeda dengan orang-orang tua yang dibesarkan dalam 
peradapan “memiliki.” Orang-orang tua tahunya berbisnis itu harus 
membeli dan menguasai. Jadinya semua mahal. Mobil harus beli sendiri, 
tanah, gedung, pabrik, bahan baku, semua disatukan dengan nama pemilik 
yang jelas.
Akibatnya modal jadi besar. Mau buka mal urusannya banyak. Sedangkan 
generasi milenials cukup pergi ke dunia maya. Serahkan pada pada robot 
(digital technology), lalu berkumpullah para pemilik barang untuk 
membuka lapak di sana dan berbagi hasil.
Sama juga dengan membuka usaha transportasi. Yang mahal hanya ide, 
lalu buat aplikasinya. Siapapun yang punya kendaraan bisa bergabung, dan
 malam harinya kendaraan tersebut diparkir di rumah masing-masing. Tak 
perlu jasa keamanan atau pol taksi.
Akibatnya wajar, kalau sebagian generasi tua gagal paham menyaksikan ulah mereka yang memurahkan segala macam harga.
Kalau ini mewabah, gila! Indonesia bakal dilanda deflasi, bukan 
inflasi. Tapi kini mereka dituduh menerapkan strategi harga predator 
yang bisa diperkarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ongkos 
taksi yang harusnya Rp 150.000, cuma dihargai Rp 70.000.
Kamar penginapan yang permalamnya Rp 1 Juta ditawarkan Rp 200.000. Apa betul ini persaingan tak wajar?
Belum lagi gadget, tiket, atau perabotan sehari-hari. Milenials bukan
 saja pribumi di dunia digital, melainkan juga mempraktikkan sharing 
economy.
Kriminalisasi atau Legalisasi
Tapi gini ya, ini bukan prostitusi online yang bekerja 
sembunyi-sembunyi. Mereka hadir terang-terangan di depan mata kita. 
Bahkan kita sesekali mencicipinya. Tetapi sebagian orang sering 
menyamakan mereka dengan bisnis ilegal.
Persepsi ini diperburuk oleh ketidakmengertian kita tentang sharing 
economy yang gejalanya sudah marak di mana-mana. Kita bilang mereka 
menerapkan strategi “predatory pricing“. Kita juga bilang, aspek 
keamanan mereka tak terjamin.
Kedua isu itu sudah mereka diskusikan sejak 3 tahun yang lalu. 
Makanya mereka mengembangkan sistem komunal dan rating. Siapapun yang 
reputasinya buruk dari consumer experience, mereka drop dari komunitas 
berbagi itu. Sejarah hidup mereka di-review dari perilaku sehari-hari di
 dunia maya.
Maka, bagi para orang tua, cara kerja anak-anak muda ini sulit 
dipahami. Sebagian pengambil kebijakan dan para pelaku usaha lama yang 
sudah terikat dengan fixed cost yang besar, menuntut agar usaha mereka 
dihambat. Atau kata publik, dikriminalisasi. Ditangkap, dijebak, 
dibubarkan, diblokir, dan diusir dari republik ini.
Namun susahnya, dunia sharing ini adalah dunia yang tak mengenal 
batas-batas negara. Diusir dari sini, ia bisa dioperasikan dari luar 
negeri. Di luar negri, kriminalisasi, denda dan larangan sudah dilakukan
 berkali-kali, tetapi mereka kembali hidup lagi di tempat lain, bahkan 
dimodali Silicon Valley.
Saya sendiri memilih jalan perubahan. Anda tak akan mungkin melawan 
proses alamiah ini. Daripada terus bertengkar, lebih baik beradaptasi.
Sejak dulu, para ahli sudah mengingatkan, teknologi baru menuntut 
manusia-manusia berpikir dengan cara baru. Kata Peter Drucker, New 
Technology X Old Mindset hasilnya: Fail! Gagal! Jadi teknologi baru 
butuh mindset baru. Itu baru menjadi kesejahteraan.
Jadi, para pelaku usaha yang lama harus berubah seperti tukang-tukang ojek pangkalan yang kini sudah berjaket hijau atau biru.
Sebagian customer masih nyaman pakai taksi langganannya. Tetapi 
pasarnya tinggal sedikit. Tak sebesar dulu lagi. Nah sebagian lagi, 
harus disiapkan dengan platform baru: sharing economy. Dan ingat, 
sebentar lagi pemilik-pemilik hotel pun akan berdemo dan para pekerjanya
 menuntut airbnb.com, couchsurfing.com dan sejenisnya dibubarkan.
Harta-harta Yang Menganggur
Problem yang muncul dari peradaban owning economy adalah sampah 
menumpuk dimana-mana, karena semua manusia ingin memiliki 
sendiri-sendiri. Jalanan jadi super macet di seluruh dunia, air semakin 
kotor dan gap kaya-miskin begitu besar.
Semua ini disebabkan oleh tragedi kapitalisme yang menghargai 
penumpukan modal, hak-hak kekayaan individu “yang tak mau berbagi” 
secara adil dengan efek penguasaan aset-aset strategis.
Padahal dulu, orang-orang tua kita hidup dalam sistem berbagi. Mereka
 hidup di kampung dan bebas melintasi tanah milik orang lain atau tanah 
ulayat yang tak berpagar.
Suasananya berubah, begitu tanah-tanah itu dikuasai orang lain yang 
mampu mengubah status tanahnya. Mereka tak lagi berbagi bahkan untuk 
sekadar numpang lewat saja.
Peradaban owning economy membuat individu-individu tertentu cepat 
mengendus harta-harta strategis, dan memagarinya, walau untuk jangka 
waktu yang lama tak digunakan.
Akibatnya di abad 21 ini lebih dari 50 persen tanah-tanah itu 
menganggur. Termasuk lahan-lahan pertanian yang kelak akan 
dialihfungsikan. Maka ia hanya ditumbuhi ilalang dan dipagari tinggi. 
Para ekonom menyebut istilahnya sebagai underutilized atau idle 
capacity. Boros, menganggur, tak produktif.
Pabrik-pabrik, perkebunan, vila mmewah, mobil-mobil keren, semua 
dikuasai, tetapi belum tentu dipakai sebulan sekali oleh pemiliknya. 
Menjadi rumah hantu atau pajangan tak bermanfaat. Nice to have, only!
Sampailah muncul teknologi baru, dengan generasi perubahan. Bagi kaum
 muda sharing economy dianggap sebagai penyelamat planet ini dari 
keserakahan manusia. Mereka menggagas ideologi-ideologi praktis tentang 
kesempatan berbagi. Setelah kewirausahaan sosial, lalu sharing economy.
Mereka bilang, “buat apa membeli yang baru, kalau barang-barang yang 
lama saja masih bisa dipakai orang lain.” Maka jutaan barang-barang 
bekas yang ada di garasi dan gudang rumah dijual kembali via e-Bay, OLX 
atau Kaskus. Gila, piringan hitam zaman dulu hidup lagi. Velg-velg mobil
 yang sudah langka kini bisa ditemui.
Setelah itu kebun-kebun yang menganggur ditawarkan kepada anak-anak 
muda yang mau bertani, hasilnya mereka bantu jualkan langsung ke 
konsumen via igrow.com. Lalu pemilik-pemilik rumah-rumah atau satu-dua 
kamar yang kosong ditawarkan. Bahkan ada tuan rumah yang menawarkan jasa
 plus sebagai guide buat jalan-jalan. Persis seperti menginap di rumah 
paman.
Di Perancis ada komunitas yang menawarkan mesin cuci pakaian, bahkan 
juga mesin cuci piring. Di Indonesia, ada yang menawarkan jasa pijet, 
yang pesertanya bahkan ada lulusan D3 fisioterapi untuk merawat pasien 
stroke. Prinsipnya, lebih baik jadi uang daripada rusak tak terawat; 
lebih baik murah tapi terpakai penuh ketimbang underutilized.
Ketika sharing economy menjadi gejala ekonomi yang marak, maka 
gelombang ini akan terjadi: Deflasi karena harga-harga akan turun, 
ledakan pariwisata dalam jumlah yang tak terduga karena banyak pilihan 
menginap yang murah, aset-aset milik masyarakat yang mengganggur menjadi
 produktif, dan kerusakan alam lebih terjaga.
Sebaliknya, ia juga menimbulkan dampak-dampak negatif: Pengangguran 
bagi yang tak lolos dalam seleksi alam (persaingan) dengan business 
model baru ini, kerugian-kerugian besar dari sektor-sektor usaha 
konvensional yang konsumennya shifting (berpindah), dan kriminalisasi 
oleh para penegak hukum atau pembuat kebijakan yang terlambat mengatur.
Sekarang negara punya dua pilihan.
Pertama, tetap hidup dalam owning economy, dengan risiko pasar yang 
besar ini menjadi ilegal economy dengan operator pengendali dari luar 
Indonesia.
Kedua, melegalkan sharing economy dan mendorong pelaku-pelaku lama menyesuaikan diri.
Silahkan direnungkan!
Sumber: 
bisniskeuangan.kompas.com